Minggu, 19 Juni 2016

Makalah Wad'ah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipudaya dan kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa cendikiawan dan ekonomi melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan. Penganut paham liberalisme dan pragmaisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Illahi.
Sekarang, saatnya para bankir yang masih mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan hadits sebagai panduan aktivitasnya memperkenalkan kepada industri keuangan dan perbankan bahwa Islam memiliki prinsip wadi’ah (titipan) serta membuktikan bahwa semuanya dapat diterapkan dalam lembaga-lembaga keuangan modern.
Sekarang, saatnya kita menunjukan bahwa muamalah syari’ah dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan wadi’ah ?
2.         Landasan syari’ah apa saja yang ada pada wadi’ah?
3.         Apa saja rukun dan syarat wadi’ah itu?
4.         Apa saja jenis-jenis wadi’ah ?
5.         Bagaimana praktek wadi’ah dalam perbankan syari’ah?

C.     Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui pengertian wadi’ah
2.         Untuk mengetahui landasan syari’ah wadiah
3.         Untuk mengetahui rukun dan syarat wadi’ah
4.         Untuk mengetahui jenis-jenis wadi’ah
5.         Untuk mengetahui praktek wadi’ah dalam praktek perbankan syari’ah

D.    Manfaat Penulisan
1.         Untuk menambah pengetahuan tentang wadi’ah
2.         Dapat mengetahui landasan syari’ah wadiah
3.         Dapat mengetahui rukun dan syarat wadi’ah
4.         Dapat mengetahui jenis-jenis syari’ah
5.         Dapat mengetahui praktek wadi’ah dalam perbankan syari’ah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wadi’ah
Menurut Syafi’i Antonio (1999) Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki[1].
Menurut Bank Indonesia (1999), wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunya barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
B.     Landasan Syari’ah
Landasan syari’ah / landasan hukumnya yaitu Al-Qur’an, Asunnah (hadits), dan ijma.
1.    Al-Qur’an
·      Al-Qur’an Suroh An-Nisa` : 58
yang artinya :  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya….” (An-Nisaa’ : 58)
·      Al-Qur’an Suroh Al-Baqarah : 283
yang artinya :  “…jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
2.    As-Sunnah (Al-Hadits)
·      Artinya : Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Sampaikanlah (Tunaikanlah) amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang Imam hakim mengkategorikannya sahih)
·         Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.”(HR THABRANI)
·         Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
3.     Ijma’
Para tokoh ulama islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi Al-Wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-islami wa Asillatuhu dari kitab al-mughni wa Syarh Kabir li Ibni Wudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy[2].
C.      Rukun dan Syarat Wadi’ah
a)      Rukun Wadi’ah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1.      Barang / uang yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)
2.      Orang yang berakad, yaitu : Pemilik barang /uang yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (Muwaddi’)
3.      Pihak yang menyimpan atau dititipi atau yang bertindak sebagai penerima simpanan  atau yang memberikan jasa (Mustawda’)
4.      Ijab qobul / kata sepakat (sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/tidak sah.
b)     Syarat Wadi’ah
Ø  Orang yang berakad harus :
·         Baligh
·         Berakal
·         Cerdas
Ø  Barang titipan harus :
·         Jelas (diketahui jenis / indentitasnya)
·         Dapat di pegang
·         Dapat dikuasai untuk di pelihara

D.      Jenis-Jenis Wadi’ah
1.    Wadi’ah Yad Al-Amanah
Yaitu akad penitipan barang/ uang, dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang di titipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.

1.    Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah
Yaitu akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Pada prinsip transaksi yad adh-dhamanah, pihak yang menitipkan barang/uang tidak perlu mengeluarkan biaya, bahkan atas kebijakan pihak yang menerima titipan, pihak yang menitipkan dapat memperoleh manfaat berupa bonus atau hadiah.
v  Penjelasan
Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadits,
Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari pinjaman yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”[3]
Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Ø Perbedaan :
1.      Yad Al-Amanah
o   Obyek tidak boleh dimanfaatkan
o   Kerusakan ditanggung oleh pemilik
o   Biaya perawatan ditanggung pemilik
2.      Yad Adh-Dhamanah
o   Obyek boleh dimanfaatkan
o   Kerusakan ditanggung pengguna
o   Biaya perawatan ditanggung pengguna

2.   Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syari’ah
Mengacu pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan:
§  Current acount (giro), [4]
§  Saving acount (tabungan berjangka).
Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagian imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Sungguhpun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW. Pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW. Memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali Rasulullah SAW. Seraya berkata, “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan; yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.”
Rasulullah SAW berkata,”Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar.”(HR Muslim).
Dari semangat hadits diatas, jelaslah bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga, baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suka bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, intensif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Dewasa ini, banyak bank islam di luar negeri telah mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan direksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.
Dengan konsep al-wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.



BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
a)      Landasan Hukum Al Wadi’ah Ada 3 :
·         Al Qur’an
·         Al Hadits
·         Ijma’
b)      Syarat-syarat Al Wadi’ah
·         Baligh
·         Berakal
·         Kemauan sendiri, tidak dipaksa
c)      Rukun-rukun Al Wadi’ah :
·         Barang yang dititipkan, syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut Syarah’.
·         Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.
·         Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun sama.
B.     Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat bagi penulis maupun pembaca. Dan saran dari kami mengenai makalah ini yaitu agar para pembaca dapat mengetahui bahwa prinsip syari’ah itu penting dan untuk lebih menambah pengetahuan kami sebagai penulis menginginkan supaya di perpustakaan kampus, mengenai referensi bukunya lebih banyak lagi agar kami bisa lebih mudah mencari referensi nya.


MAKALAH
Wadi’ah
Di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu : Eha Suhayati M.pd
Oleh :
1.      Mareta Utami              NIM     :
2.      Yuli Rohati                 NIM    : A33150012

Prody Ekonomi Syari’ah
Fakultas Agama Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Tahun Akademik 2015/2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya makalah ini.
Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat makalah yang membahas tentang “Wadi’ah”. Dalam penulisan maupun isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis menerima dengan hati terbuka atas semua kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



Cikaliung, 23 april 2016

i
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
D.    Manfaat Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wadi’ah................................................................................... 3
B.     Landasan Syari’ah Wadi’ah...................................................................... 3
C.     Rukun dan Syarat Wadi’ah....................................................................... 5
D.    Jenis-Jenis Wadi’ah................................................................................... 6
E.     Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syari’ah............................................. 8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 11
B.     Saran ......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
ii

 

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 87
Sulaiman, Rasjid Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, cetakan pertama, 2003
Paket fiqih untuk Madrasah Diniyah Awaliyah Kelas 4



[1] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi,1987), cetakan ke-8, hlm. 3; Hall Hill, “Manufacturing Industry”, dalam Ann Booth (ed.), The Oil Boom and After Indonesian Economi Policy and Performance in The Soerharto Era (Oxford: Oxford University Press,1992).
[2] Jihad Abdullah Husain Abu Uwaimir, at-Tasyid Asysyari lil-Bunuk al-Qaimah (Kairo:al-Ittihad ad-Dauli lil-Bunuk al-Islamiah, 1986).
[3] Nail al-Authar, 5/296
[4] Dibeberapa negara seperti Iran, produk giro berdasarkan prinsip qard al-ahsan, demikian juga di Malaysia saving account tidak berdasarkan prinsip wadi’ah melainkan atas dasar mudharabah

postingan lainnya