BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank
dan pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua
adalah dunia hitam, penuh tipudaya dan kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila beberapa cendikiawan dan ekonomi melihat Islam, dengan sistem
nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan. Penganut
paham liberalisme dan pragmaisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan
keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai
normatif dan rambu-rambu Illahi.
Sekarang,
saatnya para bankir yang masih mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan
hadits sebagai panduan aktivitasnya memperkenalkan kepada industri keuangan dan
perbankan bahwa Islam memiliki prinsip wadi’ah (titipan) serta membuktikan
bahwa semuanya dapat diterapkan dalam lembaga-lembaga keuangan modern.
Sekarang,
saatnya kita menunjukan bahwa muamalah syari’ah dengan filosofi utama kemitraan
dan kebersamaan dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan
ekonomi yang lebih adil dan transparan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan wadi’ah ?
2.
Landasan syari’ah apa saja yang ada pada wadi’ah?
3.
Apa saja rukun dan syarat wadi’ah itu?
4.
Apa saja jenis-jenis wadi’ah ?
5.
Bagaimana praktek wadi’ah dalam perbankan syari’ah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian wadi’ah
2.
Untuk
mengetahui landasan syari’ah wadiah
3.
Untuk mengetahui rukun dan syarat wadi’ah
4.
Untuk mengetahui
jenis-jenis wadi’ah
5.
Untuk mengetahui praktek wadi’ah dalam
praktek perbankan syari’ah
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Untuk
menambah pengetahuan tentang wadi’ah
2.
Dapat
mengetahui landasan syari’ah wadiah
3.
Dapat mengetahui
rukun dan syarat wadi’ah
4.
Dapat
mengetahui jenis-jenis syari’ah
5.
Dapat mengetahui praktek wadi’ah dalam perbankan syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wadi’ah
Menurut Syafi’i Antonio (1999) Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan atau
simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan
sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki[1].
Menurut Bank
Indonesia (1999), wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang
mempunya barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
B. Landasan Syari’ah
Landasan syari’ah / landasan hukumnya yaitu Al-Qur’an, Asunnah
(hadits), dan ijma.
1. Al-Qur’an
·
Al-Qur’an Suroh An-Nisa` :
58
yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya….” (An-Nisaa’
: 58)
·
Al-Qur’an Suroh Al-Baqarah : 283
yang artinya : “…jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; …”.
2. As-Sunnah (Al-Hadits)
·
Artinya
: Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :”Sampaikanlah (Tunaikanlah) amanat (titipan) kepada
yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang
Imam hakim mengkategorikannya sahih)
·
Kemudian, dari Ibnu Umar
berkata bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman
bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada
bersuci.”(HR THABRANI)
·
Dan diriwayatkan dari
Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika
beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia
(Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang
berhak.”
3.
Ijma’
Para tokoh ulama islam
sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi Al-Wadi’ah
karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh
Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-islami wa Asillatuhu dari kitab al-mughni wa
Syarh Kabir li Ibni Wudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy[2].
C.
Rukun
dan Syarat Wadi’ah
a) Rukun Wadi’ah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus
ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1.
Barang / uang yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)
2.
Orang yang berakad, yaitu
: Pemilik barang /uang yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (Muwaddi’)
3.
Pihak yang menyimpan atau
dititipi atau yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan jasa (Mustawda’)
4.
Ijab qobul / kata sepakat
(sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku
tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka
proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/tidak sah.
b)
Syarat Wadi’ah
Ø
Orang yang berakad harus :
·
Baligh
·
Berakal
·
Cerdas
Ø Barang titipan harus :
·
Jelas (diketahui jenis /
indentitasnya)
·
Dapat di pegang
·
Dapat dikuasai untuk di pelihara
D.
Jenis-Jenis Wadi’ah
1. Wadi’ah Yad Al-Amanah
Yaitu akad penitipan barang/ uang, dimana pihak penerima titipan
tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang di titipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak
boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi
harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip
sebagai biaya penitipan.
1.
Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah
Yaitu akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima
titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh
dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Pada prinsip transaksi yad adh-dhamanah, pihak yang menitipkan
barang/uang tidak perlu mengeluarkan biaya, bahkan atas kebijakan pihak yang
menerima titipan, pihak yang menitipkan dapat memperoleh manfaat berupa bonus
atau hadiah.
v
Penjelasan
Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan
amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena
faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh
Rasulullah dalam suatu hadits,
“Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari pinjaman yang
tidak lalai terhadap titipan tersebut.”[3]
Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima
simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi
mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus
meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya
tersebut dengan si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya
tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara
utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah
(tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan
yang terjadi pada barang tersebut.
Ø Perbedaan :
1.
Yad Al-Amanah
o
Obyek tidak boleh
dimanfaatkan
o
Kerusakan ditanggung oleh
pemilik
o
Biaya perawatan ditanggung
pemilik
2.
Yad Adh-Dhamanah
o
Obyek boleh dimanfaatkan
o
Kerusakan ditanggung
pengguna
o
Biaya perawatan ditanggung
pengguna
2.
Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syari’ah
Mengacu pada
pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan
al-wadi’ah untuk tujuan:
§ Current acount (giro), [4]
§ Saving acount (tabungan berjangka).
Sebagai
konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana
titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh
kemungkinan kerugian). Sebagian imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan
terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Sungguhpun
demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan
dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan
dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan
kebijaksanaan dari manajemen bank.
Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah
SAW. Pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta
kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah
SAW. Memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada
pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali Rasulullah SAW. Seraya berkata, “Ya
Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan; yang ada hanya unta yang
lebih besar dan berumur empat tahun.”
Rasulullah SAW berkata,”Berikanlah
itu karena sesungguhnya sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik ketika
membayar.”(HR Muslim).
Dari semangat
hadits diatas, jelaslah bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga, baik dalam
prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin
akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suka bunga.
Dalam dunia
perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, intensif semacam ini dapat
dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat
masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait.
Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung
dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam
investasi yang produktif dan menguntungkan.
Dewasa ini,
banyak bank islam di luar negeri telah mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah
dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan direksi menentukan
besarnya bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan
oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.
Dengan konsep
al-wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal
ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif
kepada penitip dalam bentuk bonus.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang
lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
a)
Landasan Hukum Al Wadi’ah Ada 3
:
·
Al Qur’an
·
Al Hadits
·
Ijma’
b) Syarat-syarat Al Wadi’ah
·
Baligh
·
Berakal
·
Kemauan sendiri, tidak
dipaksa
c) Rukun-rukun Al
Wadi’ah :
·
Barang yang dititipkan, syarat barang yang di
titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki
menurut Syarah’.
·
Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di
syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa
serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.
·
Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada
hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun sama.
B.
Saran
Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberi manfaat bagi penulis maupun pembaca. Dan saran dari kami mengenai
makalah ini yaitu agar para pembaca dapat mengetahui bahwa prinsip syari’ah itu
penting dan untuk lebih menambah pengetahuan kami sebagai penulis menginginkan
supaya di perpustakaan kampus, mengenai referensi bukunya lebih banyak lagi
agar kami bisa lebih mudah mencari referensi nya.
MAKALAH
Wadi’ah
Di susun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu : Eha Suhayati M.pd
Oleh
:
1.
Mareta
Utami NIM
:
2.
Yuli
Rohati NIM : A33150012
Prody Ekonomi
Syari’ah
Fakultas Agama
Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Tahun Akademik
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya makalah ini.
Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat makalah
yang membahas tentang “Wadi’ah”. Dalam penulisan maupun isi dari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis menerima dengan hati terbuka
atas semua kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan penulisan
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Cikaliung,
23 april 2016
i
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
D.
Manfaat Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wadi’ah................................................................................... 3
B.
Landasan Syari’ah Wadi’ah...................................................................... 3
C.
Rukun dan Syarat Wadi’ah....................................................................... 5
D.
Jenis-Jenis Wadi’ah................................................................................... 6
E.
Wadi’ah dalam Praktek
Perbankan Syari’ah............................................. 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................ 11
B.
Saran ......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
ii
|
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 87
Sulaiman, Rasjid Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2014
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah.
Jakarta: Zikrul Hakim, cetakan pertama, 2003
Paket fiqih untuk Madrasah Diniyah Awaliyah Kelas 4
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi,1987), cetakan ke-8,
hlm. 3; Hall Hill, “Manufacturing Industry”, dalam Ann Booth (ed.), The Oil
Boom and After Indonesian Economi Policy and Performance in The Soerharto Era
(Oxford: Oxford University Press,1992).
[2]
Jihad Abdullah Husain Abu Uwaimir, at-Tasyid Asysyari lil-Bunuk al-Qaimah
(Kairo:al-Ittihad ad-Dauli lil-Bunuk al-Islamiah, 1986).
[3] Nail al-Authar,
5/296
[4]
Dibeberapa negara seperti Iran, produk giro berdasarkan prinsip qard
al-ahsan, demikian juga di Malaysia saving account tidak berdasarkan
prinsip wadi’ah melainkan atas dasar mudharabah
postingan lainnya
postingan lainnya